8/27/2016

Tips Efektif Mengatasi HIV AIDS dengan ARV

Tips Efektif Mengatasi HIV AIDS dengan ARV - Meskipun obat untuk menyembuhkan HIV AIDS belum ditemukan hingga kini, namun dunia kedokteran mengalami kemajuan terkait upaya menekan tingkat kematian akibat penyakit ini.  Salah satu cara mengatasi HIV AIDS adalah dengan obat anti retroviral (ARV).

Dari hasil uji klinis ditemukan bahwa orang dengan HIV AIDS  yang menggunakan obat anti retroviral (ARV) mampu mengurangi angka kematian hingga 75 persen. Bahkan obat ini mampu menekan angka kejadian TBC pada orang dengan HIV AIDS hingga 50 persen.

Mengatasi HIV AIDS


Menurut  guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Prof Dr dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM pemberian ARV pada orang dengan HIV AIDS akan mengurangi penularan ke pasangan heteroseksualnya sebanyak 92 persen atau 12 kali lipat reduksi penularan.

Selain itu, ahli HIV AIDS ini juga menilai perlunya paradigma baru pengobatan dan pencegahan HIV AIDS. Selama ini, untuk mencegah penyebaran HIV AIDS dilakukan dengan mengubah gaya hidup buruk yang bisa memicu penyakit HIV AIDS. Namun kini perlu dilakukan melalui pendekatan struktural dengan mengurangi kemiskinan dan kebodohan.

Baca juga http://www.ozoneparis.net/tips-cantik-alami-wanita-yang-perlu-anda-tahu/

Kemiskinan perlu dikurangi karena HIV AIDS dapat terjadi akibat kemiskinan serta tingkat pendidikan rendah yang menyebabkan pengetahuan mengenai HIV AIDS juga rendah. Oleh karena itu, pengobatan dan pencegahan HIV AIDS saat ini dapat dilakukan dengan biomedik melalui penggunaan ARV sehingga akan menghambat laju penularan HIV/ AIDS.

Selain itu, sirkumsisi atau sunat juga terbukti efektif mencegah penularan HIV. Yang juga tak kalah pentingnya dalam mencegah dan mengatasi HIV AIDS adalah dengan meningkatkan jumlah tes HIV, untuk selanjutnya diteruskan dengan pengobatan ARV. Karena menunda pengobatan hanya akan memperburuk kondisi orang dengan HIV AIDS.

Sumber: http://www.imoonwalk.com/2016/08/06/cara-mencegah-gangguan-batu-kemih/

Gaya Hidup Sehat Sederhana yang Efektif

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Namun, upaya pencegahan ini tak mudah. Apalagi, masalah kesehatan lingkungan amat luas dan kompleks.

"Terlebih, sebagaian besar masalah lingkungan di luar kewenangan institusi kesehatan. Karena itu, diperlukan komitmen, keterlibatan, dan sinergi dari stakeholder. Juga, pemberdayaan masyarakat,’’ jelas Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpS(K) MARS DTM&H DTCE.

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan RI itu menyebut, bila dibuat skala prioritas, masalah lingkungan menyangkut penyediaan air minum, sanitasi, serta wilayah kumuh. Menurut Tjandra, persentase penduduk berperilaku benar buang air besar (BAB) pada 2010 sebanyak 82,8 persen.

Gaya Hidup Sehat


Kondisi ini meningkat 11,1 persen jika dibandingkan dengan 2007 sebesar 71,1 persen. Kebiasaan mencuci tangan dengan benar pada 2010 sebesar 35 persen. Kondisi ini meningkat 11,8 persen bila dibandingkan dengan 2007 sebesar 23,2 persen. Nah, persentase rumah tangga yang tidak mempunyai sarana penampungan air limbah sebesar 18,9 persen.

Baca juga http://www.glenwoodhills.org/menjaga-kesehatan-rambut-dengan-bahan-alami/

Itu menurun 6 persen daripada angka 2007 sebesar 24,9 persen. Sayang, masih ada 41,3 persen rumah tangga yang membuang limbah rumah tangga ke sungai,parit, dan got. Juga, 52,1 persen rumah tangga menangani sampah dengan cara dibakar.  

"Berbagai aspek perilaku tersebut merupakan perilaku sederhana yang berdampak luar biasa terhadap kesehatan. Apabila itu ditangani secara terpadu, sebagain besar penyakit yang mungkin muncul dapat dicegah," tuturnya.

Layanan Kebutuhan Gizi Anak Belum Optimal

Sementara itu guna memupuk kesadaran masyarakat dalam memperhatikan kebutuhan gizi anak, kemarin, Dinkes menggelar lomba balita sehat. Ada 72 anak dari 14 kecamatan di seluruh kota.

Dalam lomba itu, kontestan dibagi menjadi dua kelompok umur, yakni enam sampai 23 bulan dan 24-50 bulan. "Harapannya, selain untuk menyemarakkan HKN (Hari Kesehatan Nasional), kegiatan ini juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memperhatikan kebutuhan gizi si kecil," kata Kepala Dinkes kota Jogjakarta Tuty Setyowati.

Lihat juga http://embellishmentsone.com/cara-cantik-alami-versi-wanita-dari-berbagai-negara/

Dia menambahkan, selain berguna untuk mengantarkan anak pada kondisi gizi yang cukup, perilaku pola asuh anak dengan benar juga dapat meminimalisasi kemungkinan terjadinya gizi berlebih.
"Dengan pola asuh yang tepat, anak bisa tumbuh dan berkembang secara sehat. Sebab, kalau sampai kelebihan, dampaknya juga sama buruknya. Si anak jadi gampang sakit," tambahnya.

Ia melanjutkan, proses untuk memerangi adanya gizi buruk harus dilakukan bersama-sama, antara pemerintah dan masyarakat. Sebab, keduanya memiliki peran masing-masing yang saling melengkapi. "Kalau pemerintah saja tanpa ada support dari masyakat ya sama juga bohong. Makanya perlu adanya sinergi, agar hasilnya bisa optimal," pungkasnya.

Perkembangan Balita Tak Terpantau

Perkembangan Balita Tak Terpantau - Masih banyak anak usia di bawah lima tahun atau balita yang tidak terpantau perkembangannya. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Yogyakarta menunjukkan bahwa  sekitar tiga ribu balita di kota gudeg ini belum terkover dalam kegiatan di pos pelayanan terpadu (posyandu).

Hal itu disampaikan Kasi Kesehatan Keluarga Dinkes drg Yudiria di Rumah Pemulihan Gizi (RPG) kota Jogjakarta belum lama ini. "Di Yogjakarta, saat ini terdapat sekitar 19 ribu hingga 20 ribu balita. Dari jumlah tersebut yang terpantau perkembangannya hanya mencapai 16 hingga 17 ribu anak," katanya.

Balita


Pemantauan dilakukan kepada anak-anak yang aktif mengikuti kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di masyarakat. Jika orang tuanya tidak pernah membawa anaknya ke tempat itu, otomatis Dinkes tidak bisa mengamati perkembangan balita tersebut.

Lihat juga http://www.armenianeyes.com/2016/08/15/yuk-mengenal-sistem-kerja-imunologi-tubuh/

Dia berharap, para orang tua mau membawa putra-putrinya ke posyandu. Agar, selain pertumbuhan balita tersebut bisa dipantau, mereka juga akan mendapatkan asupan makanan tambahan yang berguna. "Sehingga, tidak terjadi lagi balita dengan gizi buruk, khususnya di kota Jogja," lanjut dia.

Meski pemerintah kota (pemkot) telah menyediakan RPG, ia berharap, jumlah anak yang dirawat di tempat itu berkurang. Saat ini, masih ada 14 anak yang menjalani perawatan di RPG. Jumlah tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan data tahun lalu, yakni 42 anak. Menurutnya, penyebab anak mengalami gizi buruk tak semata karena kekurangan asupan gizi. Namun, hal itu juga bisa dipicu akibat pola asuh yang kurang tepat.

Hasil evaluasi Dinkes menunjukkan, faktor salah asuhan masih menjadi salah satu penyebab dominan atas adanya balita penderita gizi buruk. “Oleh karena itu, perawatan di RPG ini tidak hanya kepada anaknya, tetapi juga pelatihan terhadap orang tua mengenai cara asuh anak,” imbuhnya.

Yudiria menjelaskan bahwa penderita gizi buruk membutuhkan perawatan sekitar tiga minggu untuk memulihkan kondisinya. Perbaikan gizi dilakukan secara bertahap guna meninggkatkan status gizi pada balita tersebut. Tahapan itu dilakukan mulai dari kategori buruk, kurang, hingga cukup. Hal serupa dilakukan pada perawatan anak dengan kondisi gizi berlebih.